23 November 2014

Budak

Kau tak begitu peduli
Melihatku tergeletak di situ, kau hanya berlalu tak acuh
Bantingan suaraku tak juga membuatmu kembali
Kau berlari menjauhi tangisanku, seperti anjing yang tak patuh
Saat itu juga kau membuatku rapuh

Persis seperti waktu itu,
Waktu aku dirombak habis oleh angin keras
Teriakanku tak kunjung menembus hujan deras ini
Seakan kupingmu ditutup rapat kesunyian
Tak menghiraukan panggilanku yang melengking sepanjang hari

Ayolah,
Sedingin itukah hatimu?
Aku memang sadar jalang seperti apa kau ini, tapi
Kukira hanya iblis yang tega berbuat seperti itu
Terbang gembira meludahi yang sengsara

Tak pernah kuduga lintah darah yang menempel selama ini
Tanpa sadar kusumbang hidupku cuma-cuma kepadamu
Hanya untuk menjaga lentera ini tetap menyala
Lentera yang bodohnya kukira adalah buih cinta

Cerita yang konyol
Definisi penindasan kutulis ulang di bawah cengkraman cambukmu
Tak hentinya kau mengisap kebahagiaanku
Ragamu menggagahi mataku yang pucat tak berdaya
Kata 'bebas' bahkan dihapus bersih dari kamusku
Kebodohan ini takkan berakhir sebentar lagi

Lagi-lagi tawa kecilmu
Tanganmu berkerut lemas menggenggam cambukmu
Selelah apapun, sepertinya kau menikmati ini
Keringatku yang tak terhingga seperti bahan bakarmu
Menginjak-injakku bukanlah acara sekali-kali
Penghinaanmu harus kutelan setiap hari

Mungkin akan tiba saat di mana lentera ini meredup
Atau mungkin, saat kau mulai letih meludah
Bisa juga, saat cambukmu mulai renggang
Kapanpun itu, seabad pun kutunggu
Karena tambang ini mulai mengganggu leherku

Untuk sementara, sepertinya aku harus membudak kepadamu
Karena itu
Tenang saja, cinta
Akan kubelikan gaun sampah favoritmu
Mau kuantarkan ke hotel tempatmu melacur?
Aku takkan marah jika kau selingkuh dengan gelandangan lampu merah itu

Tak apa, cintaku
Puaskan hasrat yang menggelitik dalam dirimu
Tinggikan saja piaraanmu lebih dariku
Tak apa jika emasku kau ratakan dengan bumi
Riangku takkan hilang kok
Walau kau samakan derajatku dengan seonggok kotoran sapi

Kenapa kau bingung melihatku tersenyum, sayang?
Bukannya ini kerja budak yang baik?
Menggonggong dan mengangguk seperti anjing busuk

Teruskan saja ulahmu
Aku tak keberatan melihatku hancur




















Rafi
23 November 2014

31 Oktober 2014

Merah

Semua seperti nyata
Bahkan, wajahmu masih memenuhi bus kota
Sama sekali tak bisa kutembus lubang maya,
Kian melebar, melemparku keluar realita
Menduakan yang satu, mengidolakan yang kelabu
Memupuskan dengung lembut logika diriku
Yang kini buta mengharap hangat senyummu

Hujan terhenti
Tak kusangka bulan masih bisa berpikir jernih
Saat kusapa mentari, ronanya enggan menatapku
Lagi-lagi dirimu, melintangi waktu
Menebar luas selimut imajinasi tanpa ragu

Waktu itu, jendelaku mengetuk halus
Aku berniat menyapa, tapi kamu tak hirau
Terlihat lagi cemberut benci dari mukamu
Mendiang logika kembali muncul dalam mimpiku
Membentakku, akan permainanmu yang lugu
Yang tak kian mencapai penjuru

Katakan apa maumu,
Setidaknya dengan begitu aku bisa memuaskanmu
Karena kutahu, merampas akalku pun tak juga cukup
Cerita ini masih jauh dari tamat
Beribu kali kucoba menyusup dari paragraf, tapi
Wajahmu yang dibalut bingkai emas, entah kenapa
Menyihir langkahku mati
Lirih surgawimu, entah kenapa
Menggenggam tanganku letih

Biru langit mengasihiku
Syukurlah,
Sepertinya hari ini ia mengantarkan salju
Taman itu masih putih kelabu
Masih teringat jelas saat akalku merancu
Dirobek kasar kalbu, sedetik sebelum
Aku terjatuh ke dalam cinta yang meletihkan itu
Cintamu, kala itu.

Lagi-lagi dirimu,
Tersenyum hangat, di hadapanku




















Rafi
31 Oktober 2014

30 September 2014

Sebentar

Kau masih menari
Melontar waktu ke sana kemari
Masih terlalu terang cahayamu untukku
Walaupun waktu itu, kau hanya mengecup lembut sang mentari

Indah pesonamu tak terhenti
Mencuri pandangku tanpa letih
Tak pernah kubuang waktu menebak apa di pikiranmu
Tak pernah kuhabis pikir apa di balik senyummu
Kusambut sigap tangan lembutmu
Melompat-lompat menggelitik kusut kemeja putihku

Lentik bulu matamu terus menggodaku
Tarian mungilmu tak karuan membujukku
Saat itu, rusukku terasa tak berdaya
Kau bagai bidadari emas bercahaya yang
Takkan pernah kuraih

Hatiku meronta, merengek mendambamu
Pikirku mengkhayal mencium keningmu lembut
Terlena santai di bantalan pangkuanmu
Menghitung hari hujan bersama hangatmu
Tersenyum pada rembulan bersama bibir manismu

Aku harap kamu bisa menerimaku
Sabarlah sementara aku berangan dalam gelap
Mencintai mata mutiaramu dalam senyap
Bertualang denganmu saat engkau terlelap
Aku hanya ingin melihat cakrawala kau tangkap

Karenanya,
Tetaplah di sisiku sebentar
Temaniku melangkah hari ini, sebentar saja
Lihatlah matahari terbenam bersamaku, sedetik saja
Jika bintang senja sengaja memberiku takdir ini,
Bolehkah aku khawatir kehilanganmu?

Duduklah bersamaku sebentar
Sebelum aku memilikimu.
Sebelum aku kehilanganmu.




















Rafi
30 September 2014

16 Agustus 2014

Belenggu

Masih saja kau meludahiku kata-kata manis itu
Menggoda jiwaku yang kau tahu betul sangat rapuh
Bahkan saat aku mengingatmu di hari yang lainnya
Salah jika kukira masih ada belas kasih yang tersisa

Berpaling pun tak guna
Bingung seperti kucing yang berkelana.
Mempercayaimu adalah mutlak hina
Tetapi entah kenapa aku menggila hanya untuk bersamamu
Entah kenapa raga letih ini masih mampu menampung omong kosongmu

Rasa ini seperti belenggu
Walau kutahu kau bukan untukku
Aku berlutut hanya untuk memilikimu
Naifku mendorong untuk mengejarnya lagi
Untuk sekali lagi jatuh lumpuh ke dalam penyesalan yang takkan berlalu

Angin dan bintang menatapku jijik
Seolah alam ingin menghakimiku
Hujan pun bersekutu
"Kau mempermalukan dirimu", tutur malam

Kurelakan ruhku terjun ke lubang ufuk
Menanti yang Tuhan siapkan semalam suntuk:
Sebuah meja di bawah kuning remang matahari sore
Sunyi senyap hanya kita duduk bersebrangan
Mataku berpaling menghindari percakapan
Secarik kertas di tanganku hanya kusut diremas keraguan

"Maukah kau menatapku?"
Tetapi aku takut
Aku takut salah melangkah
Jika yang kutuju adalah jurang raksasa
Lebih baik kuikat leherku meninggalkan asa
Tak ingin aku dibalut cinta yang dipaksa
Sesak mencari rasa yang kutahu tak tersisa.

Masih saja kau permainkanku dengan tatapanmu
Menggerakkan jemariku seakan boneka kayu
Tambang besi mengikat erat mengiringi tanganku yang layu
Perlahan menyayat harga diri keluar dari nadi

Runtuh olehmu raga ini
Tetap tak terpuaskan oleh hasrat birahi
Enam tahun aku ditindih keji
Tak sekalipun kepalaku menengadah tinggi
Hanya bisa membudak seperti kurcaci yang letih

Hari ini berlari
Menuju pembodohan sekali lagi
















Rafi
22 Juli 2014

28 Juni 2014

Putri Malam

Inilah kisah sang Putri Malam
Saat ia melintas, malam terlihat luntur
Jalan batu kerap menggigil
Bahkan dewi malam pun meredupkan kilaunya
Merendah diri demi sang Putri dari malam hari
Yang Mulia, Putri Layla

Inilah kisah sang Putri Malam
Dibalut dan dibentuk oleh kelam
Dari ranjang yang sama di mana sang ibu mengerang
Dihunjam lagi dan lagi oleh pria yang tak setia
Menyipratkan dendam pada Putri yang lugu
Mengintip ketakutan di balik bayangan pintu

Inilah kisah sang Putri Malam
Berdansa dan menari dengan sang Malam
Memerintah kematian, dan mengacuhkan kemuliaan
Mendekam tertekan di bawah pria yang tak setia
Sampai saat di mana ia membayar perbuatannya:
Dipenggal, dihidang, dinikmati
Sebagai makan malam sang Putri

Inilah kisah sang Putri Malam
Menjahit benang tak henti semalam suntuk
Meninggalkan sang Malam tertidur mengantuk
Menyusuri dinding kastil menarik benang hitam
Menyajikan Malam sebuah malam yang terlalu kelam:
Dicekik, dihidang, dinikmati
Sebagai aksesori gaun hitam sang Putri

Inilah kisah sang Putri Malam
Dihormati, disegani, ditakuti
Kematian pun berlutut mematuhi.
Daging manusia tersaji makan malamnya
Memancing neraka di waktu luangnya

Tundukkan kepalamu
Jelita sang Putri takkan bisa kau lupakan
Mata hitamnya menggagahi semua pikiran
Bibir mesranya penggoda paling menggairahkan
Saat engkau terperangkap
Lidah liarnya akan terus menari-nari
Membangkitkan segala hasrat dalam sanubari

Nikmatilah
Karena sesaat lagi
Kau akan menari dengan iblis
Menggandeng kematian yang mengantarmu
Ke lorong gelap jauh di bawah

Inilah kisah sang Putri Malam
Yang Mulia, Putri Layla




























Rafi
28 Juni 2014

4 Mei 2014

Sebelum Saat Ini

Seperti kapas lembab menyentuh pipiku
Waktu itu
Saat kamu memberiku ciuman yang pertama
Saat di mana semuanya masih terlihat merah muda

Waktu itu.
Saat di mana keluguan masih menjadi pelukis setia hari-hari
Saat di mana bunga matahari menerangi langkah pagi
Saat di mana kamu membuat semuanya berwarna-warni
Waktu itu.
Sebelum saat ini.

Sebelum saat ini.
Sebelum saat di mana cermin kembali melihatku
Meratapi sosok yang telah lama pergi.
Masih saja aku berharap masih tersisa sedikit kenangan dalam dirimu
Tetapi yang tersisa hanyalah kanvas tua
Yang seiring waktu, termakan buaian realita

Tubuhku enggan berputar ke depan
Sepertinya masa lalu masih terlihat terlalu indah
Saat pikiran masih mudah menelan
Saat jiwa takkan ragu untuk bercinta lelah
Waktu itu.

Jika yang kulihat di matamu hanyalah masa lalu,
Bagaimana bisa kubiarkan kenangan untuk cepat berlalu?
Tak henti kutatap matamu bak mutiara
Walaupun kutahu yang tersisa hanyalah api yang telah lama membara
Api membara tanpa satupun percikan cinta lama.

Kau berubah.
Mungkin itu lebih sederhana.
Dan sebelum mata birumu mengganggu pikiranku,
Biarkanlah aku menyelesaikan paragrafku:

Kurasa telah tiba saat di mana aku harus melepaskanmu.






















Rafi
4 Mei 2014

4 April 2014

Sepi

Sepi memelukku erat
Menyingkirkan doa dan harapan yang ingin lepas
Memindai biru laut yang luas
Mencari-cari kisah cinta yang lama kandas

Riang habis dilumat
Terkejar jejak cerita yang lama tersesat
Teralir senandung singkat merdu lagu.
Kuhentikan langkahku sesaat,
Hanya untuk melihat awan duduk termangu.

Tidak seperti biasanya
Langit hitam terlihat abu
Lantunan hujan terdengar merdu
Rembulan menatap sendu
Dengan senyum paksa yang pilu.

Menggigil di bawah tudung dewi malam
Melintas kenangan sepi berdua
Mengaung sepi di sisi kelam
Mengakhiri kisah ini selamanya.
Malam ini,
Kabut melilit gelap.
Sunyi.

Hari ini,
Cakrawala mengintai tipis
Sungguh ragu hatiku menatap
Seraya menenun benang hidup yang
Takkan pernah menjadi emas

Walaupun begitu,
Kupikir awan masih menanti
Selama apapun, aku rasa jiwa perih ini
Masih bisa dilindungi.
Kelak
Akan kuhentikan badai ini
Agar bisa membuka kisah yang masih saja sunyi

Sejenak waktu itu
Kukira angin telah berhenti.

Tetapi syukurlah
Pagi ini
Sepi kembali bersembunyi.




















Rafi
4 April 2014

27 Maret 2014

Harapan

Alur hidup masih mengelakku
Bimbang masih mengelabui kepalaku
Tentang bagaimana sang Kuasa memaparkan hidupku.
Walaupun semuanya terlihat spontan
Aku percaya takdir masih memegang peran
Membelaku dari cercaan masa lalu.

Jika seandainya waktu itu
Matahari terbit sedikit lebih terlambat
Akankah aku bertemu dirinya?
Jika seandainya waktu itu
Aku melangkah sedikit lebih awal
Akankah aku bertemu dirinya?

Sepertinya aku tak bisa melawan takdir
Melihatnya berdiri sendiri di sandaran tiang lampu
Menunggu bus malam yang tak kunjung datang
Dibalut pelukan kabut putih yang beku

Setidaknya senyumnya berhasil mencairkan suasana
Saat aku menyelimutinya dengan mantel hitamku.
Walaupun kabut beku masih membalut udara malam
Kupikir aku dan dia merasa cukup tentram.
Diterangi pancaran sinar remang lampu jalan,
Diganggu asap hitam yang melayang enggan,
Kami melangkah ke pijakan karet bus kota
Meninggalkan dataran merah pijakan batu bata

Lampu kuning yang redup menerangi jalan
Kursi biru dihias karat terlihat mengundang
Kami duduk
Menghela nafas.
Dia memperkenalkan dirinya,
Nadia
Nama yang indah.
Senyum yang indah.

Jendela terbuka lebar
Angin malam meniup rambutnya keras
Aku memperhatikannya berkibar lepas.
Tak mengacuhkan angin yang mengganggunya

Dengan senyumannya yang masih terukir jelas
Ia menatap keluar jendela
Melihat jiwa malam Kota Jakarta.

...

Di saat sayup angin menghembus damai
Di saat senyumnya datang melambai
Masa lalu datang membuai
Mengelabuiku, sekali lagi

Luka lama seperti membara
Sepertinya kenangan berusaha merenggutku
Ketakutan terasa menarikku
Menganggu semua hasratku
Yang mencoba menikmati kesunyian yang saru

Cerita lama masih setia mengejar
Kecemasan mengumpan asa dari hati
Tetes keringat membasahi lantai
Menahan masa lalu yang menggoda dengan lihai
Mendepak hati kecilku yang berdiri rapuh.
Satu persatu, sedikit demi sedikit
Masa lalu mulai meruntuhkan dinding hati
Meninggalkanku rentan terhadap ilusi.

Lelah aku membangkang memori
Bengkak kalbu telah menahan cukup perih
Kurasa lebih baik kubiarkan asa mengalir
Mengikuti jalan takdir
Karena, pada akhirnya
Aku takkan pernah sanggup mengangkat gunung
Takkan sanggup menakluk palung
Sungguh
Aku hanyalah manusia biasa
Yang mengalir pasrah di laut cinta
Tak tegar, tak kekal.
Fana.

Dari semua hal di dunia ini
Yang kuperlu hanyalah sebutir harapan cinta.




















Rafi
23 Maret 2014

16 Maret 2014

Denting Piano

Lembaran tirai merah terbelah dua
Menampakkan sesosok wanita muda
Duduk menunduk di hadapan piano putih

Kilau mutiaranya menggertak jiwa
Alur fantasi mengarungi gaun merahnya
Lekukan bibirnya membelai hati
Melepas lirih hasrat dari perangkap sunyi

Balutan sutra memancar megah
Terseret di sisi dua tangkai bunga dahlia
Jari lentiknya memainkan nada nan merdu
Dengan tapak kaki yang dihentak saru
Menari mengikuti melodi biru

Denting piano terus bersenandung
Membuka setiap kisah yang tertinggalkan
Mematahkan semangat yang menyendiri
Menyusuri barisan angan pahit
Menyisakan serpih harapan sepi

Jarinya menari-nari
Menggemakan dentang lagu piano putih
Gelombang tango membelai lantai keramik
Melilit gairah yang berkobar lepas
Dalam satu irama yang kelam

Matanya terpejam
Terbawa hembusan hawa euforia
Mengikuti rangkaian melodi yang ceria
Mengarungi permadani laut yang luas
Ditiup angin dingin yang lemas

Tangannya mengguncang panggung
Badannya terhempas ombak
Denting piano mulai memberat
Angin menghunjam keras
Diikuti tebasan hujan yang deras

Jarinya bergeser
Denting piano meringan
Layar putih terlihat di cakrawala
Menghadap lurus menuju tumpukan pasir merah
Membunyikan denting lembut bel emas

Jarinya terangkat
Matanya terbuka
Gemuruh penonton yang bersorak meledak di depan panggung
Sang pianis membungkukkan badannya
Menggaris senyum tipis di wajahnya
Sebelum menghilang
Di balik balutan tirai merah.




















Rafi
16 Maret 2014

20 Januari 2014

Biru Permata

Segelintir lirih kenangan melintasi mimpiku
Mengganggu bayang indah di lubuk khayalan
Bisikan maut seakan membelengguku beku
Menundukkan segala erangan untuk melepas bebas

Walaupun begitu,
Aku merasakan wajah yang tak asing
Yang begitu rupawan
Melirik pilu ke dalam hati yang beku
Mata biru permata setajam belati muda

Kurasa aku mengenalmu
Waktu dahulu, di tepi pintu kayu
Saat engkau meninggalkan belati muda itu
Di tubuh sang putri yang tergeletak kaku
Di pijakan kasar keramik biru.
Ya, kamu.

Gaun hitam panjang berbekas darah
Rambut hitam segelap malaikat kematian
Kulit jelita sepucat apel merah
Mata biru permata, setajam belati muda
Kamu,
Sang juwita, Meridia

Permata birumu merasuki jiwaku
Gagak hitam sepertinya telah menunggu
Tepi jurang kebebasan telah usai
Terukir kembali lekukan bibir berdarahmu
Dibayangi mata biru, setajam belati muda.

Pasang surut menghapus bersih riwayatku
Tinta merah membasahi lengan putihku
Aku terbaring di sini, tanpa daya
Di hadapan sang juwita, Meridia
Menatap sepasang mata biru permata
Setajam belati muda

Kilat perak menembus jantung merahku
Bedak putih luntur menodai genangan darah kotor
Mengalir di bawah sesosok tubuh nan elok,
Sang juwita, Meridia
Dengan mata tajamnya, menatap mataku
Memantulkan aura kematian
Berbayang biru permata.






















Rafi
20 Januari 2013