Bimbang masih mengelabui kepalaku
Tentang bagaimana sang Kuasa memaparkan hidupku.
Walaupun semuanya terlihat spontan
Aku percaya takdir masih memegang peran
Membelaku dari cercaan masa lalu.
Jika seandainya waktu itu
Matahari terbit sedikit lebih terlambat
Akankah aku bertemu dirinya?
Jika seandainya waktu itu
Aku melangkah sedikit lebih awal
Akankah aku bertemu dirinya?
Sepertinya aku tak bisa melawan takdir
Melihatnya berdiri sendiri di sandaran tiang lampu
Menunggu bus malam yang tak kunjung datang
Dibalut pelukan kabut putih yang beku
Setidaknya senyumnya berhasil mencairkan suasana
Saat aku menyelimutinya dengan mantel hitamku.
Walaupun kabut beku masih membalut udara malam
Kupikir aku dan dia merasa cukup tentram.
Diterangi pancaran sinar remang lampu jalan,
Diganggu asap hitam yang melayang enggan,
Kami melangkah ke pijakan karet bus kota
Meninggalkan dataran merah pijakan batu bata
Meninggalkan dataran merah pijakan batu bata
Lampu kuning yang redup menerangi jalan
Kursi biru dihias karat terlihat mengundang
Kami duduk
Menghela nafas.
Dia memperkenalkan dirinya,
Nadia
Nama yang indah.
Senyum yang indah.
Jendela terbuka lebar
Angin malam meniup rambutnya keras
Aku memperhatikannya berkibar lepas.
Tak mengacuhkan angin yang mengganggunya
Dengan senyumannya yang masih terukir jelas
Ia menatap keluar jendela
Melihat jiwa malam Kota Jakarta.
...
Di saat sayup angin menghembus damai
Di saat senyumnya datang melambai
Masa lalu datang membuai
Mengelabuiku, sekali lagi
Luka lama seperti membara
Sepertinya kenangan berusaha merenggutku
Ketakutan terasa menarikku
Menganggu semua hasratku
Yang mencoba menikmati kesunyian yang saru
Cerita lama masih setia mengejar
Kecemasan mengumpan asa dari hati
Tetes keringat membasahi lantai
Menahan masa lalu yang menggoda dengan lihai
Mendepak hati kecilku yang berdiri rapuh.
Satu persatu, sedikit demi sedikit
Masa lalu mulai meruntuhkan dinding hati
Meninggalkanku rentan terhadap ilusi.
Lelah aku membangkang memori
Bengkak kalbu telah menahan cukup perih
Kurasa lebih baik kubiarkan asa mengalir
Mengikuti jalan takdir
Karena, pada akhirnya
Aku takkan pernah sanggup mengangkat gunung
Takkan sanggup menakluk palung
Sungguh
Aku hanyalah manusia biasa
Yang mengalir pasrah di laut cinta
Tak tegar, tak kekal.
Fana.
Dari semua hal di dunia ini
Yang kuperlu hanyalah sebutir harapan cinta.
Rafi
23 Maret 2014
...
Di saat sayup angin menghembus damai
Di saat senyumnya datang melambai
Masa lalu datang membuai
Mengelabuiku, sekali lagi
Luka lama seperti membara
Sepertinya kenangan berusaha merenggutku
Ketakutan terasa menarikku
Menganggu semua hasratku
Yang mencoba menikmati kesunyian yang saru
Cerita lama masih setia mengejar
Kecemasan mengumpan asa dari hati
Tetes keringat membasahi lantai
Menahan masa lalu yang menggoda dengan lihai
Mendepak hati kecilku yang berdiri rapuh.
Satu persatu, sedikit demi sedikit
Masa lalu mulai meruntuhkan dinding hati
Meninggalkanku rentan terhadap ilusi.
Lelah aku membangkang memori
Bengkak kalbu telah menahan cukup perih
Kurasa lebih baik kubiarkan asa mengalir
Mengikuti jalan takdir
Karena, pada akhirnya
Aku takkan pernah sanggup mengangkat gunung
Takkan sanggup menakluk palung
Sungguh
Aku hanyalah manusia biasa
Yang mengalir pasrah di laut cinta
Tak tegar, tak kekal.
Fana.
Dari semua hal di dunia ini
Yang kuperlu hanyalah sebutir harapan cinta.
Rafi
23 Maret 2014