27 Maret 2014

Harapan

Alur hidup masih mengelakku
Bimbang masih mengelabui kepalaku
Tentang bagaimana sang Kuasa memaparkan hidupku.
Walaupun semuanya terlihat spontan
Aku percaya takdir masih memegang peran
Membelaku dari cercaan masa lalu.

Jika seandainya waktu itu
Matahari terbit sedikit lebih terlambat
Akankah aku bertemu dirinya?
Jika seandainya waktu itu
Aku melangkah sedikit lebih awal
Akankah aku bertemu dirinya?

Sepertinya aku tak bisa melawan takdir
Melihatnya berdiri sendiri di sandaran tiang lampu
Menunggu bus malam yang tak kunjung datang
Dibalut pelukan kabut putih yang beku

Setidaknya senyumnya berhasil mencairkan suasana
Saat aku menyelimutinya dengan mantel hitamku.
Walaupun kabut beku masih membalut udara malam
Kupikir aku dan dia merasa cukup tentram.
Diterangi pancaran sinar remang lampu jalan,
Diganggu asap hitam yang melayang enggan,
Kami melangkah ke pijakan karet bus kota
Meninggalkan dataran merah pijakan batu bata

Lampu kuning yang redup menerangi jalan
Kursi biru dihias karat terlihat mengundang
Kami duduk
Menghela nafas.
Dia memperkenalkan dirinya,
Nadia
Nama yang indah.
Senyum yang indah.

Jendela terbuka lebar
Angin malam meniup rambutnya keras
Aku memperhatikannya berkibar lepas.
Tak mengacuhkan angin yang mengganggunya

Dengan senyumannya yang masih terukir jelas
Ia menatap keluar jendela
Melihat jiwa malam Kota Jakarta.

...

Di saat sayup angin menghembus damai
Di saat senyumnya datang melambai
Masa lalu datang membuai
Mengelabuiku, sekali lagi

Luka lama seperti membara
Sepertinya kenangan berusaha merenggutku
Ketakutan terasa menarikku
Menganggu semua hasratku
Yang mencoba menikmati kesunyian yang saru

Cerita lama masih setia mengejar
Kecemasan mengumpan asa dari hati
Tetes keringat membasahi lantai
Menahan masa lalu yang menggoda dengan lihai
Mendepak hati kecilku yang berdiri rapuh.
Satu persatu, sedikit demi sedikit
Masa lalu mulai meruntuhkan dinding hati
Meninggalkanku rentan terhadap ilusi.

Lelah aku membangkang memori
Bengkak kalbu telah menahan cukup perih
Kurasa lebih baik kubiarkan asa mengalir
Mengikuti jalan takdir
Karena, pada akhirnya
Aku takkan pernah sanggup mengangkat gunung
Takkan sanggup menakluk palung
Sungguh
Aku hanyalah manusia biasa
Yang mengalir pasrah di laut cinta
Tak tegar, tak kekal.
Fana.

Dari semua hal di dunia ini
Yang kuperlu hanyalah sebutir harapan cinta.




















Rafi
23 Maret 2014

16 Maret 2014

Denting Piano

Lembaran tirai merah terbelah dua
Menampakkan sesosok wanita muda
Duduk menunduk di hadapan piano putih

Kilau mutiaranya menggertak jiwa
Alur fantasi mengarungi gaun merahnya
Lekukan bibirnya membelai hati
Melepas lirih hasrat dari perangkap sunyi

Balutan sutra memancar megah
Terseret di sisi dua tangkai bunga dahlia
Jari lentiknya memainkan nada nan merdu
Dengan tapak kaki yang dihentak saru
Menari mengikuti melodi biru

Denting piano terus bersenandung
Membuka setiap kisah yang tertinggalkan
Mematahkan semangat yang menyendiri
Menyusuri barisan angan pahit
Menyisakan serpih harapan sepi

Jarinya menari-nari
Menggemakan dentang lagu piano putih
Gelombang tango membelai lantai keramik
Melilit gairah yang berkobar lepas
Dalam satu irama yang kelam

Matanya terpejam
Terbawa hembusan hawa euforia
Mengikuti rangkaian melodi yang ceria
Mengarungi permadani laut yang luas
Ditiup angin dingin yang lemas

Tangannya mengguncang panggung
Badannya terhempas ombak
Denting piano mulai memberat
Angin menghunjam keras
Diikuti tebasan hujan yang deras

Jarinya bergeser
Denting piano meringan
Layar putih terlihat di cakrawala
Menghadap lurus menuju tumpukan pasir merah
Membunyikan denting lembut bel emas

Jarinya terangkat
Matanya terbuka
Gemuruh penonton yang bersorak meledak di depan panggung
Sang pianis membungkukkan badannya
Menggaris senyum tipis di wajahnya
Sebelum menghilang
Di balik balutan tirai merah.




















Rafi
16 Maret 2014