Bahkan, wajahmu masih memenuhi bus kota
Sama sekali tak bisa kutembus lubang maya,
Kian melebar, melemparku keluar realita
Menduakan yang satu, mengidolakan yang kelabu
Memupuskan dengung lembut logika diriku
Yang kini buta mengharap hangat senyummu
Hujan terhenti
Tak kusangka bulan masih bisa berpikir jernih
Saat kusapa mentari, ronanya enggan menatapku
Lagi-lagi dirimu, melintangi waktu
Menebar luas selimut imajinasi tanpa ragu
Waktu itu, jendelaku mengetuk halus
Aku berniat menyapa, tapi kamu tak hirau
Terlihat lagi cemberut benci dari mukamu
Mendiang logika kembali muncul dalam mimpiku
Membentakku, akan permainanmu yang lugu
Yang tak kian mencapai penjuru
Katakan apa maumu,
Setidaknya dengan begitu aku bisa memuaskanmu
Karena kutahu, merampas akalku pun tak juga cukup
Cerita ini masih jauh dari tamat
Beribu kali kucoba menyusup dari paragraf, tapi
Wajahmu yang dibalut bingkai emas, entah kenapa
Menyihir langkahku mati
Lirih surgawimu, entah kenapa
Menggenggam tanganku letih
Biru langit mengasihiku
Syukurlah,
Sepertinya hari ini ia mengantarkan salju
Taman itu masih putih kelabu
Masih teringat jelas saat akalku merancu
Dirobek kasar kalbu, sedetik sebelum
Aku terjatuh ke dalam cinta yang meletihkan itu
Cintamu, kala itu.
Lagi-lagi dirimu,
Tersenyum hangat, di hadapanku
Rafi
31 Oktober 2014