Dulu aku merangkai kelopak bunga di tepi pelipismu, dan melihat burung kolibri berhambur menari di rona merah mawarmu;
Lalu aku menatap hitam rambutmu yang kusut. Kian menitik keringat yang tak ragu;
Dan kau biarkan aku mendekapmu hangat; bertengger di atas kepalamu, seperti untaian daun oranye yang menyembunyikan mentari;
Tetapi kini engkau terpaku. Mungkin karena tumpukan kristal putih yang membentang di ubun-ubun; aku tak tahu. Yang kuingat, pipimu tak seputih ini.
20:05
31 Desember 2015
22 November 2015
Ini Sajak Untukmu
Ini sajak untukmu
Untukmu yang menjelma melati di sampingku
Untukmu yang mengumai pilu di kelopaknya ayu
Untukmu yang dari mahkota putih menatap haru
Untukmu yang tak kunjung melepaskanku
Sajak ini bukan untukmu, wahai melati
Tapi di bola matamu
Bunga yang kian termangu
23:56
Untukmu yang menjelma melati di sampingku
Untukmu yang mengumai pilu di kelopaknya ayu
Untukmu yang dari mahkota putih menatap haru
Untukmu yang tak kunjung melepaskanku
Sajak ini bukan untukmu, wahai melati
Tapi di bola matamu
Bunga yang kian termangu
23:56
29 Oktober 2015
Melirik Asa
Bahkan
tak pernah kubiar kau melirik asa
yang kian mengucap sajak hampa
Masihkah engkau buta?
Bukan aku yang membuatmu merana
Takkan kugelitik kau tertawa
walau hanyut bintang pun kau terpana
Tapi kuhela lagi benang asa
yang sayup dikejar matamu sesuka
Katakan, aku memandang fakta
Jangan marah kau mendengarnya
Katakan, aku tak menjelma
Aku tak lain hanya sebalut karunia
yang kau sebut-sebut akal logika
27 September
23:26
tak pernah kubiar kau melirik asa
yang kian mengucap sajak hampa
Masihkah engkau buta?
Bukan aku yang membuatmu merana
Takkan kugelitik kau tertawa
walau hanyut bintang pun kau terpana
Tapi kuhela lagi benang asa
yang sayup dikejar matamu sesuka
Katakan, aku memandang fakta
Jangan marah kau mendengarnya
Katakan, aku tak menjelma
Aku tak lain hanya sebalut karunia
yang kau sebut-sebut akal logika
27 September
23:26
25 September 2015
Cyra
Sekuncup aura kau surati dari matamu yang
dibingkai sepasang kaca terbalut hitam bingkai kayu
Tak kutangkap lirih biru pandanganmu hingga
bibirmu bergerak tipis memanggil namaku
Lembut kain kerudungmu tak kian mengikis
rinduku yang merengek mendamba halus suaramu
Senyummu memaksaku ternganga diam tak tunduk pada
pita suara yang berteriak keras ingin menyapa
Kau hanya tersenyum melihat sebongkah idiot terpana caramu
tertawa tersipu, sesaat sebelum
kiasan ronamu memudar semakin engkau melangkah
ke balik dinding yang bernoda bisu
Tak sepatah pun kata terbebas sejak
telapakmu berdansa di atas udara
Namun tak terlihat rindu yang lesu saat
cermin menatapku curiga, siang itu
Setidaknya engkau tak lagi membuatku pilu
kala mengikat simpul senyum sederhanamu itu.
16:32
dibingkai sepasang kaca terbalut hitam bingkai kayu
Tak kutangkap lirih biru pandanganmu hingga
bibirmu bergerak tipis memanggil namaku
Lembut kain kerudungmu tak kian mengikis
rinduku yang merengek mendamba halus suaramu
Senyummu memaksaku ternganga diam tak tunduk pada
pita suara yang berteriak keras ingin menyapa
Kau hanya tersenyum melihat sebongkah idiot terpana caramu
tertawa tersipu, sesaat sebelum
kiasan ronamu memudar semakin engkau melangkah
ke balik dinding yang bernoda bisu
Tak sepatah pun kata terbebas sejak
telapakmu berdansa di atas udara
Namun tak terlihat rindu yang lesu saat
cermin menatapku curiga, siang itu
Setidaknya engkau tak lagi membuatku pilu
kala mengikat simpul senyum sederhanamu itu.
16:32
13 September 2015
Tiga
Pohon rindang itu terus memanggilku
Dibalut selimut biru, engkau melambai lugu
Tak terpana saat badai menyapu bersih
Tak bergeming kala aku berlari letih
Aku takut senyummu hanya imajinasi
Walaupun untaianmu kian berkibar memanggil
Namun tak ragu anganku memekik saat
melangkah seorang rupawan dengan air telaga
Berkibas riang rupa auramu ketika
tetes air ia pandu kian derasnya
Tak berani kuduakan rona wajahmu kala itu
Walau bukan untukku engkau menggema rindu
Kusudahi anganku tertiup layu
Takkan kepadaku ia melekuk tersipu.
13:15
Dibalut selimut biru, engkau melambai lugu
Tak terpana saat badai menyapu bersih
Tak bergeming kala aku berlari letih
Aku takut senyummu hanya imajinasi
Walaupun untaianmu kian berkibar memanggil
Namun tak ragu anganku memekik saat
melangkah seorang rupawan dengan air telaga
Berkibas riang rupa auramu ketika
tetes air ia pandu kian derasnya
Tak berani kuduakan rona wajahmu kala itu
Walau bukan untukku engkau menggema rindu
Kusudahi anganku tertiup layu
Takkan kepadaku ia melekuk tersipu.
13:15
23 Agustus 2015
Wahai Dikau
Wahai dikau
Embun pagi yang memanjat turun menara kayu
Aku tak bisa sekedar mengabaikan ronamu
Terdambakan kupotret langkahmu
Walau hanya jejakmu yang terpaku
Tak rata potret itu di kepalanku
Seraya berangan bisa menatapmu
Tetapi satu hal yang tak disadari kalbu
Mekarlah debu yang menyihirmu pilu
Debu dari beribu tahun kau berpacu
Kini jejakmu kelupas digigiti waktu
Dan tak lelah aku termangu
Menghamba potretmu yang dahulu
Berharap menatap suci dirimu
Yang kini tak lebih dari sekadar abu
03:11
Embun pagi yang memanjat turun menara kayu
Aku tak bisa sekedar mengabaikan ronamu
Terdambakan kupotret langkahmu
Walau hanya jejakmu yang terpaku
Tak rata potret itu di kepalanku
Seraya berangan bisa menatapmu
Tetapi satu hal yang tak disadari kalbu
Mekarlah debu yang menyihirmu pilu
Debu dari beribu tahun kau berpacu
Kini jejakmu kelupas digigiti waktu
Dan tak lelah aku termangu
Menghamba potretmu yang dahulu
Berharap menatap suci dirimu
Yang kini tak lebih dari sekadar abu
03:11
10 Agustus 2015
Mereka Bilang
Kulangkahi lagi badanku
Ringan bagai bulu tertiup bayu
Aku menatap diriku nan rapuh
juga lilin redup yang menyertaiku
Entah kenapa mereka tertunduk di antaraku
Aku terdiam dikelilingi mereka yang sendu
Tak terasa kelam yang biasa menyelimutiku
Aku terpaku pada hampa di depanku
Menolehlah aku disapanya
Dua pilar yang tak kulihat kepalanya
Mereka bilang ingin mengantarku
Mereka bilang ingin memanggangku
Entah kenapa mataku kelabu
Aku teriak di ujung belenggu
Tak terasa kelam yang biasa menyelimutiku
Kusambut lelah, nanah, dan darah
Menolehlah aku diinjaknya
Dua pilar yang tak kulihat kepalanya
Mereka bilang jangan tanya
Mereka bilang ini neraka.
04:03
Ringan bagai bulu tertiup bayu
Aku menatap diriku nan rapuh
juga lilin redup yang menyertaiku
Entah kenapa mereka tertunduk di antaraku
Aku terdiam dikelilingi mereka yang sendu
Tak terasa kelam yang biasa menyelimutiku
Aku terpaku pada hampa di depanku
Menolehlah aku disapanya
Dua pilar yang tak kulihat kepalanya
Mereka bilang ingin mengantarku
Mereka bilang ingin memanggangku
Entah kenapa mataku kelabu
Aku teriak di ujung belenggu
Tak terasa kelam yang biasa menyelimutiku
Kusambut lelah, nanah, dan darah
Menolehlah aku diinjaknya
Dua pilar yang tak kulihat kepalanya
Mereka bilang jangan tanya
Mereka bilang ini neraka.
04:03
8 Agustus 2015
Aku Ingin Jatuh Cinta Lagi
Aku ingin jatuh cinta lagi
Seperti dulu,
Saat semua masih murni tarian tangan cinta
Saat tak terhirau gelintir drama dusta
Saat ukiran sabit tak pernah rekayasa
Saat tatapan mesra masih berarti asmara
Seperti dulu,
Saat hanyalah sajak hati yang kupuja
Saat jiwa terlena kala bersama
Saat jantung berlari kala bertemu
Saat angan berderu kala mengingatmu
Seperti dulu,
Saat kecupmu tak henti membelenggu
Saat matamu masih membuatku terpaku
Saat tawamu tak bosan kurindu
Saat ragamu mendekapku sedu
Seperti dulu,
Saat hati ini masih tulus untuk mencinta
Saat rembulan menemani kita berdansa
Saat mentari iringi irama langkah kaki
Saat dirimu semata yang berlayar di sanubari
Kau takkan hentinya kucinta
Jika saja engkau masih di sini
Seperti dulu.
01:24
Seperti dulu,
Saat semua masih murni tarian tangan cinta
Saat tak terhirau gelintir drama dusta
Saat ukiran sabit tak pernah rekayasa
Saat tatapan mesra masih berarti asmara
Seperti dulu,
Saat hanyalah sajak hati yang kupuja
Saat jiwa terlena kala bersama
Saat jantung berlari kala bertemu
Saat angan berderu kala mengingatmu
Seperti dulu,
Saat kecupmu tak henti membelenggu
Saat matamu masih membuatku terpaku
Saat tawamu tak bosan kurindu
Saat ragamu mendekapku sedu
Seperti dulu,
Saat hati ini masih tulus untuk mencinta
Saat rembulan menemani kita berdansa
Saat mentari iringi irama langkah kaki
Saat dirimu semata yang berlayar di sanubari
Kau takkan hentinya kucinta
Jika saja engkau masih di sini
Seperti dulu.
01:24
25 April 2015
Si Gadis Bertopi
Senandung angin sore tak kian mengikis pahit tatapannya
Kembali lamunan kelabu itu mengurung raga rapuhnya
Tatapan sinis mentari pun tak membantu tak apa
Tak guna walaupun bulan memujinya mempesona
Si gadis bertopi masih enggan mengukir senyumnya
Langkah pagi tak lagi dihargainya
Tak lagi terlihat ia berlari ceria dihujani bunga
Ia terpuruk menduakan realita di hadapannya
Waktu pun kian muak menanti khayalannya
Tak lagi terlintas pinta ibunya kala kemarin senja
Masih tak terlihat ukir senyum di balik bayangan topinya
Tapi bintang tak pernah letih menggiring karunia
Si gadis bertopi tertegun tak berkata
Di hadapannya, kesempurnaan yang membuat mentari pun terpana
Berkilau seperti mutiara yang diantarkan semesta
Dipersembahkan cakrawala di balik balutan sebuah aura.
Tak terlihat lagi lamunan kelabu yang membayangi raga
Senyum manis itu kembali terukir di wajahnya
Terlihat tipis bersembunyi di balik topi birunya
Tak lagi kelabu untuk si gadis bertopi
Tak lagi enggan terlena di hangat pelukan mesra
Rafi
25 April 2015
Kembali lamunan kelabu itu mengurung raga rapuhnya
Tatapan sinis mentari pun tak membantu tak apa
Tak guna walaupun bulan memujinya mempesona
Si gadis bertopi masih enggan mengukir senyumnya
Langkah pagi tak lagi dihargainya
Tak lagi terlihat ia berlari ceria dihujani bunga
Ia terpuruk menduakan realita di hadapannya
Waktu pun kian muak menanti khayalannya
Tak lagi terlintas pinta ibunya kala kemarin senja
Masih tak terlihat ukir senyum di balik bayangan topinya
Tapi bintang tak pernah letih menggiring karunia
Si gadis bertopi tertegun tak berkata
Di hadapannya, kesempurnaan yang membuat mentari pun terpana
Berkilau seperti mutiara yang diantarkan semesta
Dipersembahkan cakrawala di balik balutan sebuah aura.
Tak terlihat lagi lamunan kelabu yang membayangi raga
Senyum manis itu kembali terukir di wajahnya
Terlihat tipis bersembunyi di balik topi birunya
Tak lagi kelabu untuk si gadis bertopi
Tak lagi enggan terlena di hangat pelukan mesra
Rafi
25 April 2015
1 Maret 2015
Karena Engkau
Karena engkau yang kuminta
Lebih dari sekedar berlian putihmu yang mempesona
dan gaun merahmu yang bersinar berona
Bukan hanya kelam rambutmu yang kucinta
Engkau tak cuma senyum tipis yang diukir cahaya
Karena engkau yang kuhamba
Yang menatap di setiap detik mimpi indah yang nyata
Yang kudekap di setiap tetes hujan yang berkelana
Yang terlintas di setiap lamunanku yang terlena
dan di setiap butir rinduku di antaranya
Karena engkau yang kudamba
Bulanku dalam taburan bintang yang tak bernama
Senjaku jika malam tak keberatan untuk menunggu lebih lama
Bungaku di antara gugusan daun yang membuatnya terpana
Engkau embunku, yang takkan kubiarkan hilang begitu saja
Rafi
1 Maret 2015
Lebih dari sekedar berlian putihmu yang mempesona
dan gaun merahmu yang bersinar berona
Bukan hanya kelam rambutmu yang kucinta
Engkau tak cuma senyum tipis yang diukir cahaya
Karena engkau yang kuhamba
Yang menatap di setiap detik mimpi indah yang nyata
Yang kudekap di setiap tetes hujan yang berkelana
Yang terlintas di setiap lamunanku yang terlena
dan di setiap butir rinduku di antaranya
Karena engkau yang kudamba
Bulanku dalam taburan bintang yang tak bernama
Senjaku jika malam tak keberatan untuk menunggu lebih lama
Bungaku di antara gugusan daun yang membuatnya terpana
Engkau embunku, yang takkan kubiarkan hilang begitu saja
Rafi
1 Maret 2015
14 Februari 2015
Cokelat
Kuputar kenop pintu tua itu mendapati
dirimu berdiri sunyi menunggu panggilanku
Tak sudi tanganmu terus sembunyi di balik
pinggangmu yang malu itu
Bibirmu menggambarkan senyum tipis yang
seolah mendamba untuk melelehkanku
Sedang pita merah muda yang terikat manis di penghujung jilbabmu masih
yakinkanku untuk terus menatap mata hijaumu
Mendekapmu pagi itu, menetesi lagi air mata di sutra lembut kerudung biru favoritmu
Seraya menghidupkan kembali hangat di hati rapuhku
Cokelat itu, untukku?
Rafi
14 Februari 2015
dirimu berdiri sunyi menunggu panggilanku
Tak sudi tanganmu terus sembunyi di balik
pinggangmu yang malu itu
Bibirmu menggambarkan senyum tipis yang
seolah mendamba untuk melelehkanku
Sedang pita merah muda yang terikat manis di penghujung jilbabmu masih
yakinkanku untuk terus menatap mata hijaumu
Mendekapmu pagi itu, menetesi lagi air mata di sutra lembut kerudung biru favoritmu
Seraya menghidupkan kembali hangat di hati rapuhku
Cokelat itu, untukku?
Rafi
14 Februari 2015
23 Januari 2015
Potret
Mentari bersinar lama seakan
hari ini ia berdiri lebih tinggi
Kering daun bersenandung seperti menyambut
datangnya paruh terik mentari
Angin yang rindang berlalu tanpa mengacuhkan
seorangku yang termenung.
Pucat daun coklat terlihat mencemaskanku
Ia menyapu lembut debu kotor di bahuku seraya
bunyi sungai terdengar lirih memanggil
Mengalir kencang menyusuri batu - batu yang mungil
Bertanya penasaran kenapa aku terus duduk di sini, menggigil.
Mataku masih terpaku potret dirimu
Tatapan biru yang kau pancarkan itu terasa
menyihir hatiku beku
Langkahku mencoba berkilah, tetapi
apa daya ragaku melawan inginku untuk terus merindukanmu?
Terlukis kembali kenangan yang terdahulu
Kupacu langkah kecilku berharap
waktu memudarkan coretan wajahmu.
Tak henti kucoba mencabik-cabik kenangan kita walaupun
terkadang aku tertunduk terisak mengingat yang kucinta hanyalah kamu seorang
Tak peduli berapa banyak kisah yang kusesal
Hanya tersisa satu angan di kalbu yang takkan bisa kusangkal:
Aku ingin berada di sisimu seperti dulu
Seperti yang terukir di potret kita, waktu itu.
Rafi
23 Januari 2015
hari ini ia berdiri lebih tinggi
Kering daun bersenandung seperti menyambut
datangnya paruh terik mentari
Angin yang rindang berlalu tanpa mengacuhkan
seorangku yang termenung.
Pucat daun coklat terlihat mencemaskanku
Ia menyapu lembut debu kotor di bahuku seraya
bunyi sungai terdengar lirih memanggil
Mengalir kencang menyusuri batu - batu yang mungil
Bertanya penasaran kenapa aku terus duduk di sini, menggigil.
Mataku masih terpaku potret dirimu
Tatapan biru yang kau pancarkan itu terasa
menyihir hatiku beku
Langkahku mencoba berkilah, tetapi
apa daya ragaku melawan inginku untuk terus merindukanmu?
Terlukis kembali kenangan yang terdahulu
Kupacu langkah kecilku berharap
waktu memudarkan coretan wajahmu.
Tak henti kucoba mencabik-cabik kenangan kita walaupun
terkadang aku tertunduk terisak mengingat yang kucinta hanyalah kamu seorang
Tak peduli berapa banyak kisah yang kusesal
Hanya tersisa satu angan di kalbu yang takkan bisa kusangkal:
Aku ingin berada di sisimu seperti dulu
Seperti yang terukir di potret kita, waktu itu.
Rafi
23 Januari 2015
Langganan:
Postingan (Atom)